HOME

Sunday, March 22, 2009

Alat Musik Sasando




Alkisah, ada seorang pemuda bernama Sangguana di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Suatu hari ia menggembala di padang sabana. Ketika merasa lelah dan ngantuk, ia pun jatuh tertidur di bawah sebuah pohon lontar. Dalam tidur, ia bermimpi memainkan sebuah alat musik misterius. Ketika terbangun ia masih mengingat nada-nada yang dimainkannya. Saat kembali tidur, anehnya ia kembali memimpikan hal yang sama. Akhirnya, berdasarkan mimpinya itu Sangguana memutuskan membuat sebuah alat musik dari daun lontar dengan senar-senar di tengahnya.

Alat musik yang mirip harpa itu sekarang dikenal sebagai sasando. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan
di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando..




Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Bae Sonde Bae/Tanah Timor Lebe Bae... senandung itulah yang dinyanyikan Jeremias Ougust Pah (70), seniman senior Indonesia (maestro) sasando, alat musik tradisional khas Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika SH mengunjungi rumahnya di Jalan Timor Raya Kilometer 22 Desa Oebelo, Kabupaten Kupang Tengah, Kamis (31/7) siang.

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 28 Desember 2007 lalu, memberikan penghargaan sebagai seniman senior Indonesia (maestro) yang melestarikan dan mengembangkan seni tradisional musik sasando kepada Jeremias Ougust Pah.

Penghargaan dari pemerintah itu dibingkai dan terpampang jelas di teras depan rumah Jeremias. Teras depan rumahnya yang terbuat dari batang nipah dan bambu serta berlantai semen itulah sebuah ruang pamer sasando. Tiilangga (topi dari daun lontar), gong, gendang kecil dari tempurung, serta tenun ikat khas Rote Ndao tersaji di sana, menyambut setiap pengunjung yang datang.

“Saya ingin musik sasando itu tetap lestari di kalangan generasi muda di Tanah Timor,” demikian impian Jeremias yang langsung mengenakan pakaian adat serta tak ketinggalan tiilangga. Tak lama kemudian Jeremias mengajak SH memperlihatkan cara membuat alat musik sasando.

Di samping rumah Jeremias terdapat sebuah ruangan kecil berukuran tidak lebih dari 6 x 10 meter persegi yang dijadikan tempat pembuatan sasando dan cendera mata sasando yang bisa dipesan konsumen.
“Di ruangan kecil ini saya dan istri saya, Dorce Pah Ndoen, mencoba melestarikan musik sasando sekaligus mengembangkan kerajinan tenun ikat khas Rote Ndao. Saya berharap apa yang saya lakukan bersama istri saya ini mampu melestarikan alat musik ini sampai selamanya,” tuturnya.

Saat ditanya mengapa dia membuat pernyataan demikian, pria kelahiran Rote, 22 Oktober itu dengan wajah agak berkerut mengaku kini banyak generasi muda Timor yang mulai bosan mendengarkan suara lengkingan sasando. Di samping itu lagu-lagu yang dimainkan dengan alat musik tradisional ini hanya sebatas lagu-lagu daerah khas NTT. “Generasi muda Timor lebih suka lagu yang keras-keras dan dari luar negeri,” katanya.

Belakangan, padahal banyak orang asing sengaja datang ke rumahnya hanya untuk belajar memainkan alat musik sasando itu. “Saya pernah mengajari 15 turis dari Australia yang ingin belajar memainkan sasando. Bahkan, ada orang Jepang namanya Masamu Takashi yang secara khusus datang ke rumah saya hanya untuk belajar sasando,” katanya bersemangat.

Meski demikian, persoalan itu tidak membuat Jeremias berkecil hati. Dengan sisa-sisa kemampuannya karena termakan usia, dia tiada henti terus memperkenalkan musik sasando bagi generasi muda di Tanah Timor. Untuk mengatasi soal jarak lengkingan sasando yang sebelumnya hanya mampu terdengar 10 meter, Jeremias dengan anak kelimanya, Djitron, pada tahun 1996 membuat sasando elektrik.

Bagian pangkal sasando disambungkan kabel listrik ke sound system atau pengeras suara. Yang terjadi kemudian, nada-nada yang dikeluarkan sasando pun dapat diperdengarkan sampai jarak lebih jauh dari sekadar 10 meter.


Dihargai Orang Jepang
Jeremias pun memperkenalkan alat musik sasando hingga ke Yokohama, Jepang, beberapa tahun lalu. Didampingi istrinya, Dorce Pah Ndoen, Jeremias dengan sepuluh jari tangan memperlihatkan kelincahannya memetik senar sasando yang bertuliskan: “Semua yang bernapas memuji Tuhan.”

Sambutan masyarakat Yokohama pun membuat dirinya menitikkan air mata. Itulah pengalaman yang paling berkesan bagi Jeremias. “Kalau orang asing saja menghargai alat musik tradisional ini, seharusnya orang muda di Tanah Timor lebih mencintainya,” ungkapnya dengan berkaca-kaca.

Jeremias mempelajari sasando sejak usia lima tahun. Ia belajar memainkan sasando dari sang ayah, Ougust. Ketika itu, Ougust Pah ditunjuk Raja Rote untuk memainkan alat musik apa saja untuk menghibur tamu di kerajaan. Setelah sang ayah meninggal pada 1972, Jeremias menggantikan peran ayahnya sebagai penerus dan pengembang sasando.

Pada tahun 1985, ia memutuskan pindah ke Kupang dan menetap di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Di tempat ini, ia mulai mengembangkan dan memperkenalkan sasando kepada kalangan luas.

Agar sasando tak punah ditelan masa, Jeremias mengajari anak kelimanya, Djitron Pah. “Saya berharap anak saya itu bisa melanjutkan impian saya agar musik sasando tetap lestari sepanjang massa,” tambahnya.
Ketika SH pamit untuk meneruskan perjalanan, Jeremias mengambil sasandonya dan kembali melantunkan lagu khas Rote dengan lirik berbeda. Begini liriknya:… Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Meski miskin, lapar, dan kering/NTT tetap Lebe Bae..... n

Keperkasaan Saat Pasola

















Pasola merupakan upacara ritual di Pulau Sumba, di mana dua kubu pria berkuda akan saling menyerang dengan lemparan tombak kayu. Bilamana mengenai sasaran, pelaku dan penonton akan bersorak gembira.

Keterampilan para pria berkuda ini sangat mengagumkan, mereka mencari sasaran musuh, memacu kudanya, menombak, dan kemudian harus membalikkan arah kuda guna kembali ke kubu mereka. Pada saat berbalik inilah biasanya mereka menjadi sasaran empuk dari tombak lawan. Walaupun kayu yang digunakan berujung tumpul, namun bila mengenai kulit manusia sering kali menimbulkan luka dan perdarahan. Pada setiap Pasola, selalu ada darah yang mengalir, dan barulah Pasola dianggap sukses.

Pasola adalah upacara setahun sekali sekitar akhir Februari atau awal Maret, pada waktu bulan masih purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para ”Rato” (pemuka suku) akan memprediksi kapan nyale keluar di pagi hari, persis setelah hari mulai terang. Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk dan warnanya. Bila nyalenya gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun ini akan didapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyalenya kurus dan rapuh, akan didapatkan petaka. Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Nyale hanya keluar sekitar 3 hari dalam setahun. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dilakukan.

Pasola berlangsung seru, hari libur, seluruh desa pesta besar. Para pemuda pemberani menyiapkan diri dengan kuda perkasa menuju gelanggang. Kadang-kadang terjadi luka parah ataupun kematian. Meninggal pada waktu Pasola dianggap sebagai suatu kehormatan besar. Selesai Pasola, yang biasanya berakhir karena pertengkaran, tongkat kayu bisa berganti dengan batu sekepalan tangan, dan polisi pun turun tangan membubarkan dengan beberapa tembakan. Dan kehidupan di Sumba kembali berjalan normal, damai tanpa dendam, menanti Pasola tahun berikutnya.