HOME

Monday, March 23, 2009

Tradisi Bali





Balinese Offering 2Balinese Offering 3
Balinese Offering 1

Sunday, March 22, 2009

Nelayan Desa Lamalera Berpesta Daging Paus Sperm Whale



















Nelayan desa Lamalera di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, mulai membagi daging paus pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WITA. Sebanyak dua ekor paus berukuran sekitar 17 meter sementara seekor lainnya berukuran 22 meter.

Pembagian daging mamalia laut itu membuat seluruh warga kampung bersukaria. Para nelayan khususnya awak kapal dan mereka yang terlibat dalam proses penangkapan mendapat bagian sesuai ketentuan adat.

Kaum laki-laki menguliti paus yang didamparkan di pantai, mengerat daging dan membaginya. Sementara kaum perempuan mencuci kulit, lemak dan daging dengan air laut lalu menjujungnya di atas kepala untuk dibawa pulang.

Jumlah tangkapan yang cukup banyak yaitu tiga ekor paus dalam sehari pada Rabu (2/5) membuat proses pemotongan paus diperkirakan tidak dapat diselesaikan dalam waktu satu hari.

Bagian tengah dan isi perut didahulukan, kata Elias Blio Beding yang ikut memotong mamalia laut tersebut. Pemotongan akan dilanjutkan pada Jumat (4/5) khusus untuk bagian kepala.

Daging Koteklema atau Sperm Whale dalam bahasa lokal, mempunyai bentuk dan warna mirip daging sapi. Bagian kulit berlapis lemak yang dapat diolah menjadi minyak.

Kaum perempuan membawa pulang daging bagian keluarganya dengan cara menjunjung di atas kepala secara langsung atau diletakkan di dalam ember atau basi.

Kami memasak sedikit hari ini. sisanya akan dikeringkan dan ditukar dengan hasil bumi, kata Anna K Bataona seorang ibu rumah tangga.

Suami Anna sudah bertahun-tahun tidak melaut sejak kehilangan lengan kanannya ketika berburu ikan pari, tetapi tetap mendapatkan jatah daging paus. Namun Anna mengaku masih merasa perlu membeli daging paus yang dilakukan dengan tukar menukar.

Pada pagi hari Anna berada di pantai menggelar dagangan bersama sejumlah perempuan lainnya. Ia menjual kue dan roti goreng. Nilai tukar dua potong roti sama dengan sekerat daging, demikian pula sebatang rokok atau segenggam tembakau.

Sepiring jagung giling dapat ditukar dengan dua kerat daging dan sekerat kulit. Pembagian dilakukan sesuai adat, tukang perahu dan awaknya serta semua pemilik andil mendapatkan bagian.

Kegembiraan juga dinikmati oleh mereka yang tidak memiliki andil yaitu dengan sistem tukar menukar hasil bumi seperti jagung, tembakau dan pisang bahkan tuak.

Nelayan Lamalera terkenal ulet dan berani. Hasil tangkapan mereka berupa paus, ikan pari, lumba-lumba dan ikan terbang menjadi mata dagangan penting pada pasar dengan sistem tukar menukar. Penduduk dari desa di sekitar yang tidak sabar menanti hari pasar setiap Sabtu sudah mendatangi kampung nelayan itu dengan membawa hasil bumi.

Menjelang pukul 18.00 WITA, pemotongan paus masih dilanjutkan dan di halaman rumah mulai terlihat daging dan kulit lemak paus yang dijemur pada buluh bambu. Warga Lamalera kini semakin pandai dan mengenal nilai daging paus yang berminyak, rahang dan gigi.

Clara Lelaona tidak menukar bagiannya karena jatah suaminya sebagai Matros atau awak perahu hanya sedikit dan akan dikonsumsi sendiri. Nelayan lain hampir biasa menukar minyak paus dengan uang atau benda lain. Hampir seluruh warga menyatakan sukacita dan menganggap tahun ini tahun yang baik.

Tangkapan tiga paus dapat dibagi rata sehingga seluruh warga desa lebih dari seribu jiwa itu semuanya mendapat bagian. (*/rsd)

Lamalera Whale Hunters of Indonesia




Lamalera is a village which is perched on the rocky slopes of an active volcano on the southern coast of the island of Lembata, in Nusa Tenggara Timur in eastern Indonesia. An anonymous Portuguese document of 1624 describes the islanders as hunting whales with harpoons for their oil, and implies that they collected and sold ambergris. This report confirms that whaling took place in the waters of the Suva Sea at least two centuries before the appearance of American and English whaling ships at the beginning of the nineteenth century.

The Christian Mission has been in place in the community for a hundred years, schools have been established and a training workshop teaches carpentry. It is a fishing village in a region where most communities support themselves by agriculture. Lamalera has very little productive land, so the villagers have to fish in order to survive.

Their preferred quarry is sperm whale. Catching sperm whale with hand-thrown harpoons from small open boats powered by muscle and palm-leaf sail is no easy task, and the hunt is by no means uneven between man and whale. The tail flukes of a whale can smash the timbers of the boats and many boats are temporarily disabled by their prey.

Harpooners have been disabled and killed. But the attraction of the whale is its size. The flesh of the whale (and shark and manta ray) is cut into strips and sun dried in the village. The meat is then carried to small markets where it is bartered with mountain villagers. One strip of dried fish or meat is equivalent to twelve ears of maize, twelve bananas, twelve pieces of dried sweet potatoes, twelve sections of sugar cane, or twelve sirih peppers plus twelve pinang nuts.

Commercial whaling is banned throughout much of the world, but subsistence whaling is permitted by International Whaling Commission regulations in Alaska, the USA, the USSR and Greenland. Indonesia is not, however, a signatory to the IWC. Seven whales were caught in Lamalera in 1987.





Pesona Sunyi Pantai Nembrala
















Alat Musik Sasando




Alkisah, ada seorang pemuda bernama Sangguana di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Suatu hari ia menggembala di padang sabana. Ketika merasa lelah dan ngantuk, ia pun jatuh tertidur di bawah sebuah pohon lontar. Dalam tidur, ia bermimpi memainkan sebuah alat musik misterius. Ketika terbangun ia masih mengingat nada-nada yang dimainkannya. Saat kembali tidur, anehnya ia kembali memimpikan hal yang sama. Akhirnya, berdasarkan mimpinya itu Sangguana memutuskan membuat sebuah alat musik dari daun lontar dengan senar-senar di tengahnya.

Alat musik yang mirip harpa itu sekarang dikenal sebagai sasando. Secara harfiah nama Sasando menurut asal katanya dalam bahasa Rote, sasandu, yang artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Konon sasando digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola dan kecapi.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan
di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas kebawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando..




Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Bae Sonde Bae/Tanah Timor Lebe Bae... senandung itulah yang dinyanyikan Jeremias Ougust Pah (70), seniman senior Indonesia (maestro) sasando, alat musik tradisional khas Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika SH mengunjungi rumahnya di Jalan Timor Raya Kilometer 22 Desa Oebelo, Kabupaten Kupang Tengah, Kamis (31/7) siang.

Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada 28 Desember 2007 lalu, memberikan penghargaan sebagai seniman senior Indonesia (maestro) yang melestarikan dan mengembangkan seni tradisional musik sasando kepada Jeremias Ougust Pah.

Penghargaan dari pemerintah itu dibingkai dan terpampang jelas di teras depan rumah Jeremias. Teras depan rumahnya yang terbuat dari batang nipah dan bambu serta berlantai semen itulah sebuah ruang pamer sasando. Tiilangga (topi dari daun lontar), gong, gendang kecil dari tempurung, serta tenun ikat khas Rote Ndao tersaji di sana, menyambut setiap pengunjung yang datang.

“Saya ingin musik sasando itu tetap lestari di kalangan generasi muda di Tanah Timor,” demikian impian Jeremias yang langsung mengenakan pakaian adat serta tak ketinggalan tiilangga. Tak lama kemudian Jeremias mengajak SH memperlihatkan cara membuat alat musik sasando.

Di samping rumah Jeremias terdapat sebuah ruangan kecil berukuran tidak lebih dari 6 x 10 meter persegi yang dijadikan tempat pembuatan sasando dan cendera mata sasando yang bisa dipesan konsumen.
“Di ruangan kecil ini saya dan istri saya, Dorce Pah Ndoen, mencoba melestarikan musik sasando sekaligus mengembangkan kerajinan tenun ikat khas Rote Ndao. Saya berharap apa yang saya lakukan bersama istri saya ini mampu melestarikan alat musik ini sampai selamanya,” tuturnya.

Saat ditanya mengapa dia membuat pernyataan demikian, pria kelahiran Rote, 22 Oktober itu dengan wajah agak berkerut mengaku kini banyak generasi muda Timor yang mulai bosan mendengarkan suara lengkingan sasando. Di samping itu lagu-lagu yang dimainkan dengan alat musik tradisional ini hanya sebatas lagu-lagu daerah khas NTT. “Generasi muda Timor lebih suka lagu yang keras-keras dan dari luar negeri,” katanya.

Belakangan, padahal banyak orang asing sengaja datang ke rumahnya hanya untuk belajar memainkan alat musik sasando itu. “Saya pernah mengajari 15 turis dari Australia yang ingin belajar memainkan sasando. Bahkan, ada orang Jepang namanya Masamu Takashi yang secara khusus datang ke rumah saya hanya untuk belajar sasando,” katanya bersemangat.

Meski demikian, persoalan itu tidak membuat Jeremias berkecil hati. Dengan sisa-sisa kemampuannya karena termakan usia, dia tiada henti terus memperkenalkan musik sasando bagi generasi muda di Tanah Timor. Untuk mengatasi soal jarak lengkingan sasando yang sebelumnya hanya mampu terdengar 10 meter, Jeremias dengan anak kelimanya, Djitron, pada tahun 1996 membuat sasando elektrik.

Bagian pangkal sasando disambungkan kabel listrik ke sound system atau pengeras suara. Yang terjadi kemudian, nada-nada yang dikeluarkan sasando pun dapat diperdengarkan sampai jarak lebih jauh dari sekadar 10 meter.


Dihargai Orang Jepang
Jeremias pun memperkenalkan alat musik sasando hingga ke Yokohama, Jepang, beberapa tahun lalu. Didampingi istrinya, Dorce Pah Ndoen, Jeremias dengan sepuluh jari tangan memperlihatkan kelincahannya memetik senar sasando yang bertuliskan: “Semua yang bernapas memuji Tuhan.”

Sambutan masyarakat Yokohama pun membuat dirinya menitikkan air mata. Itulah pengalaman yang paling berkesan bagi Jeremias. “Kalau orang asing saja menghargai alat musik tradisional ini, seharusnya orang muda di Tanah Timor lebih mencintainya,” ungkapnya dengan berkaca-kaca.

Jeremias mempelajari sasando sejak usia lima tahun. Ia belajar memainkan sasando dari sang ayah, Ougust. Ketika itu, Ougust Pah ditunjuk Raja Rote untuk memainkan alat musik apa saja untuk menghibur tamu di kerajaan. Setelah sang ayah meninggal pada 1972, Jeremias menggantikan peran ayahnya sebagai penerus dan pengembang sasando.

Pada tahun 1985, ia memutuskan pindah ke Kupang dan menetap di Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang. Di tempat ini, ia mulai mengembangkan dan memperkenalkan sasando kepada kalangan luas.

Agar sasando tak punah ditelan masa, Jeremias mengajari anak kelimanya, Djitron Pah. “Saya berharap anak saya itu bisa melanjutkan impian saya agar musik sasando tetap lestari sepanjang massa,” tambahnya.
Ketika SH pamit untuk meneruskan perjalanan, Jeremias mengambil sasandonya dan kembali melantunkan lagu khas Rote dengan lirik berbeda. Begini liriknya:… Bo Lelebo/Tanah Timor Lelebo/Meski miskin, lapar, dan kering/NTT tetap Lebe Bae..... n

Keperkasaan Saat Pasola

















Pasola merupakan upacara ritual di Pulau Sumba, di mana dua kubu pria berkuda akan saling menyerang dengan lemparan tombak kayu. Bilamana mengenai sasaran, pelaku dan penonton akan bersorak gembira.

Keterampilan para pria berkuda ini sangat mengagumkan, mereka mencari sasaran musuh, memacu kudanya, menombak, dan kemudian harus membalikkan arah kuda guna kembali ke kubu mereka. Pada saat berbalik inilah biasanya mereka menjadi sasaran empuk dari tombak lawan. Walaupun kayu yang digunakan berujung tumpul, namun bila mengenai kulit manusia sering kali menimbulkan luka dan perdarahan. Pada setiap Pasola, selalu ada darah yang mengalir, dan barulah Pasola dianggap sukses.

Pasola adalah upacara setahun sekali sekitar akhir Februari atau awal Maret, pada waktu bulan masih purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para ”Rato” (pemuka suku) akan memprediksi kapan nyale keluar di pagi hari, persis setelah hari mulai terang. Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk dan warnanya. Bila nyalenya gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun ini akan didapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyalenya kurus dan rapuh, akan didapatkan petaka. Setelah itu penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat. Nyale hanya keluar sekitar 3 hari dalam setahun. Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dilakukan.

Pasola berlangsung seru, hari libur, seluruh desa pesta besar. Para pemuda pemberani menyiapkan diri dengan kuda perkasa menuju gelanggang. Kadang-kadang terjadi luka parah ataupun kematian. Meninggal pada waktu Pasola dianggap sebagai suatu kehormatan besar. Selesai Pasola, yang biasanya berakhir karena pertengkaran, tongkat kayu bisa berganti dengan batu sekepalan tangan, dan polisi pun turun tangan membubarkan dengan beberapa tembakan. Dan kehidupan di Sumba kembali berjalan normal, damai tanpa dendam, menanti Pasola tahun berikutnya.

Kisah Tour Danau Kelimutu





Perjalanan sekitar tiga jam dari Kota Maumere, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), ditempuh dengan sebuah mobil sewaan melintasi jalan berkelok-kelok, jurang dan tebing, serta kondisi jalan yang tidak mulus. Terasa melelahkan dan penuh tantangan, apalagi perjalanan dilakukan pada dini hari. Namun semuanya sirna setelah memasuki Kampung Moni, kampung terdekat menuju Danau Kelimutu.

Ibu-ibu menawarkan kain tenun Lio yang dijual di kaki Gunung Kelimutu yang menjadi pelataran parkir kendaraan pengunjung danau tersebut. Kain tenun Lio merupakan salah satu potensi lokal yang dijual masyarakat setempat bagi wisatawan. [Foto-foto: Pembaruan/Heri Soba]

Warna-warna Danau Kelimutu terus berubah. Perubahan itu bisa saja disebabkan oleh kandungan mineral, pengaruh biota jenis lumut dan batu-batuan di dalam kawah tersebut. Bagi masyarakat setempat perubahan warna itu mempunyai makna tersendiri.

Kampung Moni terletak di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende yang berjarak 13 kilometer dari Danau Kelimutu. Dari Moni hanya dibutuhkan waktu sekitar 45 menit untuk mencapai bibir Danau Kelimutu. Tepat pukul 08.15 Wita, setelah melintasi jalan setapak sekitar satu kilometer, kami tiba di bibir Danau Kelimutu.

Danau tiga warna di puncak kawah Gunung Kelimutu yang menjadi salah satu dari keajaiban dunia ini, benar-benar mempesona dengan keindahan dan misteri yang tersimpan di puncak gunung setinggi 1.690 meter di atas permukaan laut itu.

Kelimutu merupakan gabungan dari kata keli yang berarti gunung dan mutu yang berarti mendidih. Kelimutu adalah satu dari sekian daerah tujuan wisata yang sangat terkenal di Pulau Flores, selain komodo, kampung tradisional Bena, dan Taman Laut Riung yang indah. Danau vulkanik dianggap ajaib dan misterius karena warna ketiga danau tersebut berubah-ubah, seiring dengan perjalanan waktu. Sebelumnya warna danau ini adalah merah, putih, dan biru.

Pada pertengahan 2006 lalu terjadi beberapa kali perubahan terutama untuk dua danau yang letaknya bersebelahan yakni Danau Arwah Muda-mudi (tiwu nua muri ko'o fai) dan Danau Arwah Tukang Tenung (tiwu ata polo). Danau Arwah Muda-mudi yang sebelumnya berwarna hijau, pada Juni tahun lalu sempat berubah menjadi biru. Sementara Danau Tukang Tenung atau Orang Jahat yang sebelumnya berwarna cokelat tua berubah warna agak kemerah-merahan.

Satu danau yang terpisah, Danau Arwah Orangtua (tiwu ata mbupu) tetap berwarna hijau tua/lumut. Namun, pada Desember lalu ketika Pembaruan berkunjung ke danau tersebut Danau Arwah Muda-mudi kembali berwarna hijau, Danau Orang Jahat menjadi biru tua, dan Danau Orangtua menjadi cokelat kehitaman. Warna air Danau Kelimutu adalah misteri alam.

Pagi hari adalah waktu yang terbaik untuk menyaksikan Danau Kelimutu. Menjelang tengah hari, apalagi sore hari, biasanya danau diselimuti kabut yang menghalangi pandangan. Itu sebabnya para wisatawan biasanya bermalam di Kampung Moni dan baru berangkat ke Gunung Kelimutu dini hari. Kelimutu terletak sekitar 66 kilometer dari Kota Ende dan 83 kilometer dari Kota Maumere.

Dari Maumere dapat menggunakan kendaraan sewaan sekitar Rp 600.000 untuk perjalanan Maumere-Kelimutu- Maumere. Waktu perjalanan bisa ditentukan sendiri dan pengunjung dapat mencapai puncak Kelimutu. Untuk biaya yang lebih murah dari Maumere dapat menggunakan bus umum dengan biaya Rp 25.000, namun hanya sampai di Kampung Moni, tetapi sulit mendapatkan bus yang tiba pagi hari di kampung itu sehingga harus menginap di tempat itu. Perlu juga menyewa kendaraan pribadi atau ojek untuk mencapai puncak danau.

Kalau dengan kendaraan sewaan pengunjung bisa mampir di beberapa desa tradisional dan perjalanan diatur sesuai kesepakatan. Biasanya sekali jalan hingga pulang, butuh delapan jam dengan harga Rp 600.000. Waktu tersebut sudah lebih dari cukup termasuk dua jam penuh menikmati Danau Kelimutu dan sekitarnya, kata Paul Yanca, sopir yang biasa menyewakan kendaraan pribadinya.

Selain dari Maumere, Kelimutu juga dapat dicapai dari Ende menggunakan bus antarkota ataupun kendaraan sewaan, dengan harga dan waktu perjalanan yang relatif tidak jauh berbeda.

Sebuah cottage dari kayu adalah salah satu dari alternatif penginapan di Kampung Moni sebelum atau sesudah mengunjungi Danau Kelimutu. Tarif yang relatif murah dan pemandangan alam yang menarik merupakan kenikmatan bagi wisatawan dengan dana terbatas. Kelimutu diyakini juga sebagai tempat bersemayamnya arwah-arwah manusia. Danau yang terlihat pada gambar merupakan danau arwah orang tua (tiwu ata mbupu) letaknya terpisah dari dua danau lain yang saling berimpitan.

Flora

Untuk menginap di Kampung Moni terdapat sekitar 20 homestay yang dikelola penduduk dengan tarif Rp 25.000- Rp 50.000 per malam. Cottage milik pemerintah bertarif Rp 75.000-Rp 85.000. Kawasan Kelimutu dikelilingi hutan dengan flora yang jarang ditemukan di wilayah Flores. Ada pinus, cemara, kayu merah dan edelweiss. Sedangkan fauna yang ada seperti rusa, babi hutan, ayam hutan dan elang.

Apa yang terlihat saat ini tidak jauh berbeda dengan kondisi 15 tahun lalu ketika Pembaruan mengunjungi kawasan tersebut. Hanya sedikit perbedaan, jika 15 tahun lalu kendaraan pengunjung bisa mencapai bibir danau, saat ini kendaraan hanya bisa sampai di kaki gunung dan butuh 30 menit berjalan kaki menuju bibir danau ajaib itu.

Masyarakat setempat mempercayai bahwa Gunung Kelimutu keramat dan memberikan kesuburan pada alam di sekitarnya. Dalam beberapa kesempatan biasanya ada upacara masyarakat setempat dan memberikan sesajen kepada arwah yang menjaga kawasan tersebut.

Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antardanau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding terjal tersebut memiliki sudut kemiringan 70 derajat dengan ketinggian antara 50 sampai 150 meter.

Gunung Kelimutu pernah meletus pada 1886 dan meninggalkan tiga kawah berbentuk danau tersebut dan ditetapkan sebagai taman nasional sejak 26 Februari 1992. Kelimutu juga merupakan tempat yang bagus bagi yang menyukai hiking dan menikmati kawasan desa pegunungan tropis. [Pembaruan/Heri Soba]

Pesona Danau Kelimutu




A. Selayang Pandang
Danau Kelimutu yang terletak di puncak Gunung Kelimutu ini masuk dalam rangkaian Taman Nasional Kelimutu. Danau ini berada di ketinggian 1.631 meter dari permukaan laut.

Beberapa flora yang dapat ditemui di sekitar danau antara lain Kesambi (Schleichera oleosa), Cemara (Casuarina equisetifolia) dan bunga abadi Edelweiss. Sedangkan fauna yang ada di sekitar danau, antara lain Rusa (Cervus timorensis), Babi hutan (Sus sp.), Ayam hutan (Gallus gallus) dan Elang (Elanus sp.)

B. Keistimewaan
Danau Kelimutu mempunyai tiga kubangan raksasa. Masing-masing kubangan mempunyai warna air yang selalu berubah tiap tahunnya. Air di salah satu tiga kubangan berwarna merah dan dapat menjadi hijau tua serta merah hati; di kubangan lainnya berwarna hijau tua menjadi hijau muda; dan di kubangan ketiga berwarna coklat kehitaman menjadi biru langit.

C. Lokasi
Secara adminitratif, Danau Kelimutu berada pada 3 kecamatan, yakni Kecamatan Detsuko, Kecamatan Wolowaru dan Kecamatan Ndona, ketiganya berada di bawah naungan Kabupaten Dati II Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.

D. Akses
Dari ibukota Propinsi NTT, yakni Kupang, pengunjung dapat menggunakan pesawat menuju kota Ende, di Pulau Flores, dengan waktu tempuh mencapai 40 menit. Setiba di Ende, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan angkutan umum berupa mini bus, menuju Desa Kaonara, yang berjarak 93 km, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Dari Desa Koanara menuju Puncak Danau Kelimutu, wisatawan harus berjalan sepanjang 2,5 km.

E. Tiket Masuk
Hingga bulan Februari 2008, dilaporkan bahwa pada hari biasa, pengunjung dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp. 3000, namun pada akhir pekan, yakni Sabtu dan Minggu, pengunjung dikenakan biaya sebesar Rp. 5000.

F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Karena menjadi salah satu objek wisata andalan bagi pemerintah setempat, maka akomodasi di sekitar danau cukup diperhatikan. Terdapat pondok jaga, shelter berteduh untuk pengunjung, MCK, kapasitas lahan parkir yang mampu menampung sekitar 20 mobil, serta beberapa losmen kecil bagi para wisatawan yang hendak menginap.