HOME

Sunday, March 22, 2009

Nelayan Desa Lamalera Berpesta Daging Paus Sperm Whale



















Nelayan desa Lamalera di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, mulai membagi daging paus pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WITA. Sebanyak dua ekor paus berukuran sekitar 17 meter sementara seekor lainnya berukuran 22 meter.

Pembagian daging mamalia laut itu membuat seluruh warga kampung bersukaria. Para nelayan khususnya awak kapal dan mereka yang terlibat dalam proses penangkapan mendapat bagian sesuai ketentuan adat.

Kaum laki-laki menguliti paus yang didamparkan di pantai, mengerat daging dan membaginya. Sementara kaum perempuan mencuci kulit, lemak dan daging dengan air laut lalu menjujungnya di atas kepala untuk dibawa pulang.

Jumlah tangkapan yang cukup banyak yaitu tiga ekor paus dalam sehari pada Rabu (2/5) membuat proses pemotongan paus diperkirakan tidak dapat diselesaikan dalam waktu satu hari.

Bagian tengah dan isi perut didahulukan, kata Elias Blio Beding yang ikut memotong mamalia laut tersebut. Pemotongan akan dilanjutkan pada Jumat (4/5) khusus untuk bagian kepala.

Daging Koteklema atau Sperm Whale dalam bahasa lokal, mempunyai bentuk dan warna mirip daging sapi. Bagian kulit berlapis lemak yang dapat diolah menjadi minyak.

Kaum perempuan membawa pulang daging bagian keluarganya dengan cara menjunjung di atas kepala secara langsung atau diletakkan di dalam ember atau basi.

Kami memasak sedikit hari ini. sisanya akan dikeringkan dan ditukar dengan hasil bumi, kata Anna K Bataona seorang ibu rumah tangga.

Suami Anna sudah bertahun-tahun tidak melaut sejak kehilangan lengan kanannya ketika berburu ikan pari, tetapi tetap mendapatkan jatah daging paus. Namun Anna mengaku masih merasa perlu membeli daging paus yang dilakukan dengan tukar menukar.

Pada pagi hari Anna berada di pantai menggelar dagangan bersama sejumlah perempuan lainnya. Ia menjual kue dan roti goreng. Nilai tukar dua potong roti sama dengan sekerat daging, demikian pula sebatang rokok atau segenggam tembakau.

Sepiring jagung giling dapat ditukar dengan dua kerat daging dan sekerat kulit. Pembagian dilakukan sesuai adat, tukang perahu dan awaknya serta semua pemilik andil mendapatkan bagian.

Kegembiraan juga dinikmati oleh mereka yang tidak memiliki andil yaitu dengan sistem tukar menukar hasil bumi seperti jagung, tembakau dan pisang bahkan tuak.

Nelayan Lamalera terkenal ulet dan berani. Hasil tangkapan mereka berupa paus, ikan pari, lumba-lumba dan ikan terbang menjadi mata dagangan penting pada pasar dengan sistem tukar menukar. Penduduk dari desa di sekitar yang tidak sabar menanti hari pasar setiap Sabtu sudah mendatangi kampung nelayan itu dengan membawa hasil bumi.

Menjelang pukul 18.00 WITA, pemotongan paus masih dilanjutkan dan di halaman rumah mulai terlihat daging dan kulit lemak paus yang dijemur pada buluh bambu. Warga Lamalera kini semakin pandai dan mengenal nilai daging paus yang berminyak, rahang dan gigi.

Clara Lelaona tidak menukar bagiannya karena jatah suaminya sebagai Matros atau awak perahu hanya sedikit dan akan dikonsumsi sendiri. Nelayan lain hampir biasa menukar minyak paus dengan uang atau benda lain. Hampir seluruh warga menyatakan sukacita dan menganggap tahun ini tahun yang baik.

Tangkapan tiga paus dapat dibagi rata sehingga seluruh warga desa lebih dari seribu jiwa itu semuanya mendapat bagian. (*/rsd)

Lamalera Whale Hunters of Indonesia




Lamalera is a village which is perched on the rocky slopes of an active volcano on the southern coast of the island of Lembata, in Nusa Tenggara Timur in eastern Indonesia. An anonymous Portuguese document of 1624 describes the islanders as hunting whales with harpoons for their oil, and implies that they collected and sold ambergris. This report confirms that whaling took place in the waters of the Suva Sea at least two centuries before the appearance of American and English whaling ships at the beginning of the nineteenth century.

The Christian Mission has been in place in the community for a hundred years, schools have been established and a training workshop teaches carpentry. It is a fishing village in a region where most communities support themselves by agriculture. Lamalera has very little productive land, so the villagers have to fish in order to survive.

Their preferred quarry is sperm whale. Catching sperm whale with hand-thrown harpoons from small open boats powered by muscle and palm-leaf sail is no easy task, and the hunt is by no means uneven between man and whale. The tail flukes of a whale can smash the timbers of the boats and many boats are temporarily disabled by their prey.

Harpooners have been disabled and killed. But the attraction of the whale is its size. The flesh of the whale (and shark and manta ray) is cut into strips and sun dried in the village. The meat is then carried to small markets where it is bartered with mountain villagers. One strip of dried fish or meat is equivalent to twelve ears of maize, twelve bananas, twelve pieces of dried sweet potatoes, twelve sections of sugar cane, or twelve sirih peppers plus twelve pinang nuts.

Commercial whaling is banned throughout much of the world, but subsistence whaling is permitted by International Whaling Commission regulations in Alaska, the USA, the USSR and Greenland. Indonesia is not, however, a signatory to the IWC. Seven whales were caught in Lamalera in 1987.